Beranda | Artikel
Mitos Orang Sunda tidak Boleh Menikah dengan Orang Jawa
Rabu, 20 Mei 2015

Orang Sunda tidak Boleh Menikah dengan Orang Jawa?

Assalamualaikum ustadz.. bagaimana menyikapi orang tua yg percaya mitos bahwa org jawa dan sunda dilarang menikah? Mohon penjelasannya ustadz mngenai mitos ini dlam islam. jazakumullah khoiron

Dari X via Tanya Ustadz for Android

Jawaban:

Wa’alaikumus salam

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Ada beberapa keterangan ahli sejarah tentang latar belakang mitos itu. Barangkali para pembaca sudah pernah menyimaknya. Yang pada intinya adalah pengkhianatan yang dilakukan Majapahit terhadap Pajajaran, hingga terjadilah peristiwa perang Bubat. Hingga mereka membuat aturan larangan estri ti luaran (beristri dari luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa

Untuk mempertahankan aturan itu, mereka menciptakan mitos, jika orang jawa yang menikah dengan orang sunda akan terancam keselamatan dan keutuhan keluarganya. Mereka tidak akan bahagia, selalu melarat, tidak langgeng dan hal tidak baik lainnya bakal menimpa orang yang melanggar aturan itu.

Terlepas dari kesahihan sejarah itu, sejatinya mitos ini didasari permusuhan, dendam sejarah dan fanatisme kesukuan. Ketika ini dipertahankan, hakekatnya adalah mempertahankan fanatisme kesukuan.

Ada dua tinjauan dalam melihat kasus ini,

Pertama, tentang mitos jika orang sunda menikah dengan orang jawa, kehidupan keluarganya akan sengsara.

Apapun mitos tetap mitos, sekalipun orang menyebutnya ada nilai filosofis. Ketika semua itu dikaitkan dengan takdir, atau diyakini menjadi sebab sial, maka pelakunya terjerumus dalam kesyirikan.

Meyakini sesuatu sebagai sebab sial bagi kehidupan manusia, padahal tidak ada hubungannya, disebut tiyaroh. Dan itu kesyirikan.

Dalam hadis dari sahabat Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، ثَلَاثًا

“Thiyarah itu syirik…, Thiyarah itu syirik…, (diulang 3 kali)” (HR. Ahmad 3759, Abu Daud 3912, dan yang lainnya. Syuaib Al-Arnauth mengatakan, Sanadnya shahih).

Dakwah menuju kesyirikan dengan doktrin semacam ini, sejatinya adalah melanjutkan tradisi kaum musyrikin jahiliyah. Bahkan alat yang mereka gunakan untuk mengancam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin adalah ancaman kutukan. Allah berfirman,

أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ وَيُخَوِّفُونَكَ بِالَّذِينَ مِنْ دُونِهِ

”Bukankah Allah mencukupi hamba-hamba-Nya (dengan melindungi mereka). Sementara mereka menakut-nakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah.” (QS. Az-Zumar: 36).

Untuk melawan ancaman-ancaman kualat itu, Allah ajarkan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin untuk menjadi hamba yang tawakkal dan pasrah kepada-Nya. Pada ayat di atas, Allah awali dengan ajaran untuk bertawakal kepada-Nya. Allah mengajarkan satu prinsip agar orang bisa menjadi bertawakal, “Bukankah Allah mencukupi hamba-hamba-Nya (dengan melindungi mereka)…”

Dan metode semacam ini juga diterapkan para sahabat. Ibnu Mas’ud pernah mengatakan,

وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

Dan tidak ada satupun diantara kami yang bersih dari perasaan tiyaroh. Namun Allah menghilangkannya dengan tawakkal. (HR. Ahmad 3759, Abu Daud 3912, dan dishahihkan Syuaib Al-Arnauth)

Ketika keyakinan terhadap mitos ini dituruti, perasaan takut itu akan semakin membesar, dan bisa tidak terbendung. Karena itu, seharunya dibuang jauh-jauh.

Kedua, mempertahankan fanatisme kesukuan

Allah menegaska bahwa tujuan Dia menciptakan manusia dengan sekian perbedaan suku dan golongan, bukan untuk menciptakan kesenjangan dan perbedaan. Namun agar mereka saling mengenal.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. (QS. al-Hujurat: 13)

Anda bisa bayangkan, andaikan semua manusia memiliki ciri yang sama. Kulit mereka sama, ciri muka mereka sama. Kita akan sulit mengenal identitasnya. Agar kita menciptakan kesan ada yang lebih mulia karena suku, Allah menegaskan, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa.”

Tak terkecuali perbedaan antara jawa dan sunda. Jawa tidak lebih mulia dari pada sunda, maupun sebaliknya.

Kita akan simak sejarah tentang kaum anshar.

Kaum Anshar terdiri dari dua suku besar: Aus dan Khazraj. Mereka menetap di Madinah (Yatsrib) ratusan tahun sebelum islam datang. Sebagaimana umumnya tradisi jahiliyah, dua klan besar ini sering terjadi sengketa dan perang. Setidaknya ada 4 pertempuran yang pernah terjadi diantara mereka,

Perang Sumir, perang Ka’b, perang Hathib, dan yang terakhir perang Bu’ats, yang dimenangkan suku Aus. Dalam perang Bu’ats, suku Aus bersekutu dengan dua marga Yahudi, Bani Quraizhah dan Bani Nadzir. Mulanya klan Khazraj menang, tetapi setelah pemimpinnya, Amr bin Nu’man terbunuh, kaum Khazraj pun kalah habis-habisan. Kebun dan rumah-rumah mereka dibakar. Hampir saja klan Khazraj ini punah. Sejak itu, kedua suku bersaudara ini hidup saling tegang, dan penuh kecurigaan, serta dendam kesumat.

Lima tahun setelah peristiwa Bu’ats, islam datang ke Madinah, baik Aus maupun Khazraj, mereka menerima dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat antusias untuk mempersaudarakan mereka. Persaudaraan karena ikatan iman.

Suasana rukun, damai antar-kaum muslimin, jelas sangat tidak disukai musuh islam, terutama orang yahudi. Akhirnya mereka berusaha membangkitkan dendam kesumat masa jahiliyah. Hingga suatu ketika upaya yahudi itu hampir berhasil. Masing-masing Aus dan Khazraj terbakar semangatnya dan saling tegang. Bahkan mereka telah  siap mengeluarkan senjatanya. Ketika berita itu sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau angkat suara,

أبِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ وأَنَا بَيْنَ أظْهُرِكُمْ؟

“Apakah kalian akan membangkitkan semangat jahiliyah, sementara aku berada di tengah kalian?”

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat,

وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

“Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.” (QS. Ali Imran: 103).

Mendengar ayat ini, mereka langsung luluh, membuang senjatanya dan saling meminta maaf. Indahnya persaudaraan.

Peristiwa serupa juga sempat terjadi antara Muhajirin dan Anshar. Mereka pernah perang tabok sandal. Masing-masing saling mencari pendukung. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

مَا بَالُ دَعْوَى جَاهِلِيَّةٍ؛ دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ

“Mengapa ada orang yang mengobarkan semangat jahiliyah. Tinggalkan itu, karena itu bangkai.” (HR. Bukhari 4905 & Muslim 6748)

Anda bisa perhatikan, mengungkit-ungkit permusuhan masa silam, sejatinya adalah membangun kembali semangat jahiliyah yang sangat ditentang dalam islam.

Dendam memang terkadang tidak bisa sirna. Karena hati tidak bisa lupa ketika dia disakiti. Namun bukan berarti manusia boleh mengumbarnya. Bahkan sampai menjadi aturan untuk seluruh keturunannya. Bukankah ini mengobarkan semangat permusuhan jahiliyah?? Kecuali jika orang itu lebih mencintai adat dan budayanya dari pada kecitaannya pada agamanya.

Allahu  a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/24854-mitos-orang-sunda-tidak-boleh-menikah-dengan-orang-jawa.html